Saat itu aku berada di depan
pusara abah. Guruku, kakekku.
Sebagai seorang muslim
kupanjatkan doa untuknya, di depan kuburnya, tak berarti aku menyembah dan
meronta. Ta’awudz, basmallah, dan shalawat selalu utama. Malam itu banyak orang
berziarah. Sebelum aku datang, telah banyak jamaah almarhum abah yang datang
berziarah dan berdoa, khidmat, damai, dan bergetar.
Salah satu untaian doaku agar aku
tetap istiqomah di jalan Islam, di jalan Allah Swt. hingga nanti aku diakui
sebagai umat Nabiallah Muhammad Saw. Aamiin. Lirih dan terasa begitu menyayat ketika aku
memohon untuk itu, juga aku berdoa agar ilmu-ilmu yang abah berikan dapat
bermanfaat, dapat kami amalkan, dapat menolong kami semua, dapat menjadi amal
jariyah abah.
Ini pun tentang penyesalah tetapi
banyak pula kesyukuran. Di saat sehatnya abah aku jarang mengaji, tetapi Maha Besar Allah Swt., di saat-saat akhir abah
sakit, aku malah terus ingin mengaji. Banyak cara Allah melangkahkanku untuk
mengaji. Alhamdulillah aku mengalami mengaji bersama beliau di akhir-akhir
kekuatan beliau.
Benar.
Mungkin sejatinya hidup
bermanfaat bagi orang lain berarti keberadaan kita mengandung hikmah bagi
sesama. Di saat ada, di setiap detail kehidupan yang tampak maupun tidak, sadar
maupun tidak, hidup kita penuh pelajaran bagi sesama. Dan di saat kita tiada,
pergi tak bersama lagi atau bahkan telah tiada lagi di dunia akan menjadi
hikmah yang lebih besar. Semua kan tampak berharga setelah menjadi memori. Perhatikan
saja, orang itu bermanfaat, berharga, berhikmah, atau tidak akan terasa
setalahnya.
Tulisan ini terilhami dari nuansa
malam itu dan nuansa hati yang masih menetralisir. Semoga aku tak mendendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar