Muslimah. Entrepreneur. Balon. Seni Tari. Joglo. Menulis. Musik.

Minggu, 12 Januari 2014

Sebelum Menyesal

Saat itu aku berada di depan pusara abah. Guruku, kakekku.
Sebagai seorang muslim kupanjatkan doa untuknya, di depan kuburnya, tak berarti aku menyembah dan meronta. Ta’awudz, basmallah, dan shalawat selalu utama. Malam itu banyak orang berziarah. Sebelum aku datang, telah banyak jamaah almarhum abah yang datang berziarah dan berdoa, khidmat, damai, dan bergetar.
Salah satu untaian doaku agar aku tetap istiqomah di jalan Islam, di jalan Allah Swt. hingga nanti aku diakui sebagai umat Nabiallah Muhammad Saw. Aamiin.  Lirih dan terasa begitu menyayat ketika aku memohon untuk itu, juga aku berdoa agar ilmu-ilmu yang abah berikan dapat bermanfaat, dapat kami amalkan, dapat menolong kami semua, dapat menjadi amal jariyah abah.


Ini pun tentang penyesalah tetapi banyak pula kesyukuran. Di saat sehatnya abah aku jarang mengaji, tetapi  Maha Besar Allah Swt., di saat-saat akhir abah sakit, aku malah terus ingin mengaji. Banyak cara Allah melangkahkanku untuk mengaji. Alhamdulillah aku mengalami mengaji bersama beliau di akhir-akhir kekuatan beliau.
Benar.
Mungkin sejatinya hidup bermanfaat bagi orang lain berarti keberadaan kita mengandung hikmah bagi sesama. Di saat ada, di setiap detail kehidupan yang tampak maupun tidak, sadar maupun tidak, hidup kita penuh pelajaran bagi sesama. Dan di saat kita tiada, pergi tak bersama lagi atau bahkan telah tiada lagi di dunia akan menjadi hikmah yang lebih besar. Semua kan tampak berharga setelah menjadi memori. Perhatikan saja, orang itu bermanfaat, berharga, berhikmah, atau tidak akan terasa setalahnya.


Tulisan ini terilhami dari nuansa malam itu dan nuansa hati yang masih menetralisir. Semoga aku tak mendendam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar